Kamis, 27 November 2008

Sekolah Sebagai Dasar Sosial

Sekolah adalah sebuah kesatuan dari hubungan interaksi kepribadian. Semua kepribadian yang bertemu disekolah terikat bersama dalam sebuah hubungan dasar. Semua kehidupan merupakan bagiannya, namun semua itu tidak akan ad tanpa bagian-bagian tersebut. Sekolah adalah dasar social, adalah aspek dasar pertama dan paling penting dalam kehidupan social disekolah yang akan kita bahasa dibagian ini.

Sebagai dasar social, sekolah memperlihatkan kesaling tergantungan disetiap bagiannya, tadalah hal yang mustahil untuk mempengaruhi satu bagian tanpa mempengaruhi kesemuanya. Sebagai dasar social, sekolah menunjukkan perbedaan bagian dan fungsi khusus. Dasar ini adalah kelengkapan yang dipelihara oleh komunitas.

Dalam pandangan yang lain, sekolah adalah sebuah system tetutup dari interaksi social. Tanpa perlu menjadi pintar, kita dapat menyadari bahwa fajkta ini adalah penting, terutama jika kita bekajar kesekolah sebagai sebuah kesatuan social, kita harus dapat membedakan dengan jelas antara sekolah dan yang bukan sekolah. Fakta dengan jelas menunjukkan sekolah sangat berbeda dengan lingkungan pergaulan social. Sebuah sekolah ada dimanasaja dan kapan saja seorang guru dan murid bertemu dengan tujuan memberi dan menerima pembelajaran. Pembelajaran ini biasanya ada dalam bentuk pembelajaran resmi didalam kelas, tapi hal ini tidaklah awjib. Memberi dan menerima pembelajaran adalah salah satu inti dari sekolah yang kita tahu saat ini.

Inti lainnya terbagi kedalam bagian-bagian yang masuk kedalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan.

Saat kami menganalisis keberadaan sekolah, kami menemukan bahwa sekolah memiliki karakteristik yang memungkinkan kami membedakan mereka dan mempelajari sekolah sebagai unit social :

1. Sekolah memiliki populasi yang pasti
2. Sekolah memiliki struktur politik yang jelas, yang tercipta dari sifat-sifat interaksi social di sekolah, dan dipengaruhi oleh banyaknya proses interaksi minor.
3. Sekolah mewakili hubungan antara 2 individu atau lebih yang mempengaruhi jaringan hubungan social.
4. Sekolah memiliki kebudayaan mereka sendiri.

Sekolah sangatlah berbeda didalam tingkat didalam cirri dan didalam sikap yang sekolah kombinasikan. Sekolah private dengan asrama menunjukkan merka ada didalam tingkat tertinggi. Sekolah ini memiliki populasi yang stabil dan seragam; keseragaman yang asli, yang ada karena seleksi ekonomi dan social, dan ditinggikan dengan persatuan erat dan persamaan pengalaman. Sekolah ini memiliki organisasi politik yang jelas dan tegas, beberapa diantaranya dituliskan kedalam buku peraturan dan patokan.

Orang-orang yang ada disekolah ini sangat dekat satu dengan yang lain, dan memiliki ikatan satu dengan yang lain dalam sebuah hubungan social yang berliku dan silang menyilang. 
Persatuan yang akrab, keseimbangan kelompok, pembagian kelompok dalam pakaian tersendiri dan mengisolasi diri dari pengaruh budaya lain, adalah kombinasi yang memungkinkan hubungan kuat dalam kesatuan didalam sekolah seperti ini; telah lama diketahui bahwa skolah khusus memiliki rasa persatuan didalam keluarga.
Pemisahan sekolah dari komunitas yang ada, dan kekayaan dari anggotanya membawa kedalam persatuan mereka yang bersifat tertutup, menjadikan kebudayaan berkembang didalam sekolah ini lebih menonjol dan terlihat.

(terjemahan dari buku Williard Walker)

Pemerataan Pendidikan di Indonesia Bagian Timur

Sejak dasawarsa 1970-an, masalah pemberian kesempatan pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi telah mendapat perhatian yang sangat intens dari pemerintah melalui upaya-upaya perluasan kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan (Perspektif kelembagaan formal). Hal ini seiring dengan makin berkembangnya pemikiran bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan bangsa.

Dalam pemahaman teori Human Capital yang dipelopori oleh Theodore W. Schultz, manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana bentuk kapital-kapital lainnya yang sangat menentukan bagi pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi Sumber daya manusia, dengan pendidikan seseorang dapat memperluas pilihan-pilihan bagi kehidupannya baik dalam profesi, pekerjaan, maupun dalam kegiatan-kegiatan lainnya guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Keadaan tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa negara-negara maju umumnya adalah negara-negara yang tingkat pendidikan masyarakatnya cukup memadai, sehingga makin mendorong negara-negara berkembang untuk mengikutinya melalui berbagai kebijakan peningkatan tingkat pendidikan masyarakat.

Pendekatan teori human capital merupakan salah satu pendekatan (terutama dalam penelitian pendidikan) di samping dua pendekatan lain yaitu teori fungsionalisme dan teori empirisme. Teori fungsionalisme yang dipelopori oleh Burton Clark, menekankan pada preservation of human resources atau pemeliharaan sumber daya manusia, dimana dalam upaya tersebut perhatian pada perubahan teknologi sangat menonjol sehingga diperlukan pengembangan sistem pendidikan dan pemilihan program-program pendidikan disamping perlunya upaya perluasan pendidikan yang lebih merata dalam konteks interaksi antara lembaga pendidikan dengan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat termasuk perkembangan teknologi yang terjadi dengan cepat.

Sementara itu pendekatan teori empirisme menekankan pada perlunya diagnosis terhadap masalah pemerataan pendidikan dengan mengkombinasikan antara metodologi dan substansi (Methodological empiricism). Pendekatan dengan mengacu pada teori ini telah banyak melahirkan hasil-hasil penelitian yang penting. Menurut pemahaman teori ini terjadinya ketidakmerataan kesempatan pendidikan merupakan hasil dari perselisihan antara kelas-kelas sosial yang berbeda kepentingan, kelas-kelas sosial yang dianggap elit lebih suka mempertahankan status quo, sementara kelas-kelas populis terus berjuang guna mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan. Lebih jauh diungkap bahwa penelitian mengenai pemerataan pendidikan telah berkembang dalam dua arah yang berlainan (Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, 1993 : 26) yaitu : Pertama, penelitian pendidikan yang bersifat empiris dan kuantitatif telah menyerap sejumlah besar dana dan daya, hasil-hasilnya diarahkan untuk melakukan analisis terhadap peranan pendidikan dalam mengurangi atau mempertahankan struktur pemerataan pendidikan. Jenis penelitian ini lahir bersamaan dengan meluasnya faham egalitarianisme secara berkelanjutan dalam bidang pendidikan. Kedua, berkembangnya penelitian-penelitian terapan (Action research) pada bidang pendidikan dalam bentuk quasi-experiment.

Dari ketiga pendekatan tersebut, terlihat adanya perbedaan orientasi dalam melihaat masalah pendidikan, namun satu hal yang cukup menonjol adalah berkaitan dengan pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia yang berimplikasi pada perlunya upaya pemerataan pendidikan baik itu sebagai modal/investasi manusia, sebagai pemeliharaan terhadap sumber daya manusia, maupun sebagai aktivitas yang dialami sehari-hari yang terus menerus beninteraksi dengan lingkungan baik sosiologis, ekonomis, maupun lingkungan teknologis. Semua implikasi ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari pembuat kebijakan guna menciptakan situasi yang kondusif bagi warga masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan bertanggungjawab dalam dimensi pendidikan yang lebih luas.

Masalah pemerataan pendidikan merupakan masalah di bidang pendidikan pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dari periode 2001/02 sampai 2005/06, angka partisipasi murni SD cukup bagus sebesar 94,20%. Untuk level pendidikan SMP, SMU dan Perguruan Tinggi terjadi ketidakmerataan pendidikan dengan angka partisipasi bersekolah yang kecil.

Jika melihat angka partisipasi murni untuk usia SMP tahun 2005/06 (data dari Depdiknas) maka menunjukkan angka 62,06% yang berarti 37,94% yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan SMP. Itupun belum memperhitungkan jumlah anak yang putus sekolah, maka jumlah tersebut akan berkurang. APM sebesar 42,64% pada level SMU, menunjukkan lebih besarnya jumlah anak usia SMU yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke level SMU. Hal ini juga belum memperhitungkan anak putus sekolah di level pendidikan SMU. 

Pemerataan Pendidikan

Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.

Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu Equality dan Equity. Equality atau persamaan mengandungn arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan , sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.

 Coleman dalam bukunya Equality of educational opportunity mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan yakni : pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya (Ace Suryadi , 1993 : 31). Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.

Dengan demikian dimensi pemeratan pendidikan mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Equality of access

b. Equality of survival

c. Equality of output

d. Equality of outcome

Apabila dimensi-dimensi tersebut menjadi landasan dalam mendekati masalah pemerataan pendidikan, nampak betapa rumit dan sulitnya menilai pemerataan pendidikan yang dicapai oleh suatu daerah, apalagi bagi negara yang sedang membangun dimana kendala pendanaan nampak masih cukup dominan baik dilihat dari sudut kuantitas maupun efektivitas.

Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah mengupayakan pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan sembilan tahun milai tahun 1994. upaya-upaya ini nampaknya lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan (dimensi equality of access). Di samping itu pada tahapan selanjutnya pemberian program beasiswa (dimensi equality of survival) menjadi upaya yang cukup mendapat perhatian dengan mendorong keterlibatan masyarakat melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh. Program beasiswa ini semakin intensif ketika terjadi krisis ekonomi, dan dewasa ini dengan Program BOS untuk pendidikan dasar, hal ini menunjukan bahwa pemerataan pendidikan menuntut pendanaan yang cukup besar tidak hanya berkaitan dengan penyediaan fasilitas tapi juga pemeliharaan siswa agar tetap bertahan mengikuti pendidikan di sekolah.

 Orang-orang di pedalaman di Indonesia bagian timur Irian dan Kalimantan tidak memperoleh kesempatan pendidikan yang sama dengan kita (di pulau Jawa). Pemerintah menghindar dari kewajibannya membuka daerah-daerah terpencil, namun juga menutup upaya organisasi lain. Pemerintah seharusnya membuka dan tidak menghalang-halangi pekerjaan LSM-LSM untuk membuka daerah-daerah terpencil di Irian dan Kalimantan, sekalipun LSM tersebut adalah Misi Penginjilan dari luar negeri. Selama ini birokrasi pemerintah secara efektif menghalangi upaya pembukaan daerah-daerah terpencil tersebut yang berasal dari misi LSM Kristen. Kampus-kampus di Indonesia Timur tidak memperoleh alokasi yang sama dengan kampus-kampus di bagian barat. Bantuan yang besar lebih banyak dihabiskan untuk pengembangan kampus di Jawa. 

Selain itu ada faktor lain seperti kesadaran akan arti pentingnya pendidikan, bagi masyarakat pedesaan dan marginal cenderung kurang menganggap penting artinya pendidikan.. hal ini karena faktor internal lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah faktor kelemahan. Masih relatif rendahnya tingkat pendidikan penduduk merupakan permasalahan mendasar dalam pembanguan SDM di daerah terpencil terutama di Indonesia bagian timur.

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu alasan anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, baik karena tidak memiliki biaya sekolah maupun karena harus bekerja. Hal tersebut berdampak pada tingginya kesenjangan partisipasi pendidikan penduduk miskin dengan penduduk kaya. Pada saat yang sama partisipasi pendidikan penduduk pedesaan lebih rendah dibanding penduduk perkotaan.

Pola pikir masyarakat miskin menilai bahwa pendidikan masih terlalu mahal dan belum memberikan manfaat yang signifikan dengan sumberdaya yang dikeluarkan. Karena itu, pendidikan belum menjadi pilihan investasi.

Selain faktor ekonomi, penyebab banyaknya anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi juga berkaitan dengan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendidikan, serta letak geografis dan faktor sosial budaya lainnya.

 Di sisi lain faktor kelemahannya adalah berkaitan dengan fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan SLTP dan SLTA yang belum tersedia secara merata atau terbatas, khususnya dalam pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan pedalaman, yang menyebabkan sulitnya anak-anak usia sekolah khususnya anak perempuan untuk mengakses layanan pendidikan. Selain itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga belum tersedia secara memadai bahkan hampir belum terperhatikan.

Kondisi wilayah geografis di daerah Indonesia bagian timur masih cenderung kurang mendukung, menyebabkan distribusi penduduk tidak merata dan juga berpengaruh terhadap pembangunan infrastruktur yang memadai. Belum semua kecamatan memiliki akses jalan, jembatan dan sarana transportasi, serta fasilitas listrik, pos dan telekomunikasi yang memadai

Selain itu, secara sosiologis penduduk di wilayah Indonesia bagian timur masih memiliki pola pikir yang menganggap pendidikan kurang memberikan kontribusi yang pasti terhadap masa depan mereka. Dan faktor lain yang mempengaruhi adalah faktor budaya.

Masalah pemerataan pendidikan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara diantarnya :

Ekspansi (perluasan), bagaimana pendidikan itu diperbesar semakin jauh terutama dalam pusat-pusat belajar. Selama ini cenderung hanya ditempat tertentu saja dimana pusat-pusat belajar itu ada, sedangkan di daerah-daerah terpencil seperti di irian jaya dan daerah terpencil lainnya masih sangat jaran.

Access, mendekatkan tampat-tempat belajar kepada pemakai. Akan tetapi ada kendala yang cukup krusial, yaitu pola pikirdan budaya masyarakat dalam memandang ari pentingnya pendidikan. Access disini memungkinkan untuk peluang keterjangkauan yang lebih dalam mengenyam pendidikan. Misalnya saja di salah satu desa di irian ada 3 SD, jadi yang harus dlakukan adalah didasarkan pada jumlah penduduknya. Jika kedekatan fisik itu tidak dapat mengatasi masalah, maka yag harus dilakukan adalah menciptakan system pendidikan yang fleksibel. Dimana proses pendidikan dilaksanakan saat anak-anak memiliki waktu luang.