Kamis, 27 November 2008

Sekolah Sebagai Dasar Sosial

Sekolah adalah sebuah kesatuan dari hubungan interaksi kepribadian. Semua kepribadian yang bertemu disekolah terikat bersama dalam sebuah hubungan dasar. Semua kehidupan merupakan bagiannya, namun semua itu tidak akan ad tanpa bagian-bagian tersebut. Sekolah adalah dasar social, adalah aspek dasar pertama dan paling penting dalam kehidupan social disekolah yang akan kita bahasa dibagian ini.

Sebagai dasar social, sekolah memperlihatkan kesaling tergantungan disetiap bagiannya, tadalah hal yang mustahil untuk mempengaruhi satu bagian tanpa mempengaruhi kesemuanya. Sebagai dasar social, sekolah menunjukkan perbedaan bagian dan fungsi khusus. Dasar ini adalah kelengkapan yang dipelihara oleh komunitas.

Dalam pandangan yang lain, sekolah adalah sebuah system tetutup dari interaksi social. Tanpa perlu menjadi pintar, kita dapat menyadari bahwa fajkta ini adalah penting, terutama jika kita bekajar kesekolah sebagai sebuah kesatuan social, kita harus dapat membedakan dengan jelas antara sekolah dan yang bukan sekolah. Fakta dengan jelas menunjukkan sekolah sangat berbeda dengan lingkungan pergaulan social. Sebuah sekolah ada dimanasaja dan kapan saja seorang guru dan murid bertemu dengan tujuan memberi dan menerima pembelajaran. Pembelajaran ini biasanya ada dalam bentuk pembelajaran resmi didalam kelas, tapi hal ini tidaklah awjib. Memberi dan menerima pembelajaran adalah salah satu inti dari sekolah yang kita tahu saat ini.

Inti lainnya terbagi kedalam bagian-bagian yang masuk kedalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan.

Saat kami menganalisis keberadaan sekolah, kami menemukan bahwa sekolah memiliki karakteristik yang memungkinkan kami membedakan mereka dan mempelajari sekolah sebagai unit social :

1. Sekolah memiliki populasi yang pasti
2. Sekolah memiliki struktur politik yang jelas, yang tercipta dari sifat-sifat interaksi social di sekolah, dan dipengaruhi oleh banyaknya proses interaksi minor.
3. Sekolah mewakili hubungan antara 2 individu atau lebih yang mempengaruhi jaringan hubungan social.
4. Sekolah memiliki kebudayaan mereka sendiri.

Sekolah sangatlah berbeda didalam tingkat didalam cirri dan didalam sikap yang sekolah kombinasikan. Sekolah private dengan asrama menunjukkan merka ada didalam tingkat tertinggi. Sekolah ini memiliki populasi yang stabil dan seragam; keseragaman yang asli, yang ada karena seleksi ekonomi dan social, dan ditinggikan dengan persatuan erat dan persamaan pengalaman. Sekolah ini memiliki organisasi politik yang jelas dan tegas, beberapa diantaranya dituliskan kedalam buku peraturan dan patokan.

Orang-orang yang ada disekolah ini sangat dekat satu dengan yang lain, dan memiliki ikatan satu dengan yang lain dalam sebuah hubungan social yang berliku dan silang menyilang. 
Persatuan yang akrab, keseimbangan kelompok, pembagian kelompok dalam pakaian tersendiri dan mengisolasi diri dari pengaruh budaya lain, adalah kombinasi yang memungkinkan hubungan kuat dalam kesatuan didalam sekolah seperti ini; telah lama diketahui bahwa skolah khusus memiliki rasa persatuan didalam keluarga.
Pemisahan sekolah dari komunitas yang ada, dan kekayaan dari anggotanya membawa kedalam persatuan mereka yang bersifat tertutup, menjadikan kebudayaan berkembang didalam sekolah ini lebih menonjol dan terlihat.

(terjemahan dari buku Williard Walker)

Pemerataan Pendidikan di Indonesia Bagian Timur

Sejak dasawarsa 1970-an, masalah pemberian kesempatan pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi telah mendapat perhatian yang sangat intens dari pemerintah melalui upaya-upaya perluasan kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan (Perspektif kelembagaan formal). Hal ini seiring dengan makin berkembangnya pemikiran bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan bangsa.

Dalam pemahaman teori Human Capital yang dipelopori oleh Theodore W. Schultz, manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana bentuk kapital-kapital lainnya yang sangat menentukan bagi pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi Sumber daya manusia, dengan pendidikan seseorang dapat memperluas pilihan-pilihan bagi kehidupannya baik dalam profesi, pekerjaan, maupun dalam kegiatan-kegiatan lainnya guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Keadaan tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa negara-negara maju umumnya adalah negara-negara yang tingkat pendidikan masyarakatnya cukup memadai, sehingga makin mendorong negara-negara berkembang untuk mengikutinya melalui berbagai kebijakan peningkatan tingkat pendidikan masyarakat.

Pendekatan teori human capital merupakan salah satu pendekatan (terutama dalam penelitian pendidikan) di samping dua pendekatan lain yaitu teori fungsionalisme dan teori empirisme. Teori fungsionalisme yang dipelopori oleh Burton Clark, menekankan pada preservation of human resources atau pemeliharaan sumber daya manusia, dimana dalam upaya tersebut perhatian pada perubahan teknologi sangat menonjol sehingga diperlukan pengembangan sistem pendidikan dan pemilihan program-program pendidikan disamping perlunya upaya perluasan pendidikan yang lebih merata dalam konteks interaksi antara lembaga pendidikan dengan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat termasuk perkembangan teknologi yang terjadi dengan cepat.

Sementara itu pendekatan teori empirisme menekankan pada perlunya diagnosis terhadap masalah pemerataan pendidikan dengan mengkombinasikan antara metodologi dan substansi (Methodological empiricism). Pendekatan dengan mengacu pada teori ini telah banyak melahirkan hasil-hasil penelitian yang penting. Menurut pemahaman teori ini terjadinya ketidakmerataan kesempatan pendidikan merupakan hasil dari perselisihan antara kelas-kelas sosial yang berbeda kepentingan, kelas-kelas sosial yang dianggap elit lebih suka mempertahankan status quo, sementara kelas-kelas populis terus berjuang guna mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan. Lebih jauh diungkap bahwa penelitian mengenai pemerataan pendidikan telah berkembang dalam dua arah yang berlainan (Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, 1993 : 26) yaitu : Pertama, penelitian pendidikan yang bersifat empiris dan kuantitatif telah menyerap sejumlah besar dana dan daya, hasil-hasilnya diarahkan untuk melakukan analisis terhadap peranan pendidikan dalam mengurangi atau mempertahankan struktur pemerataan pendidikan. Jenis penelitian ini lahir bersamaan dengan meluasnya faham egalitarianisme secara berkelanjutan dalam bidang pendidikan. Kedua, berkembangnya penelitian-penelitian terapan (Action research) pada bidang pendidikan dalam bentuk quasi-experiment.

Dari ketiga pendekatan tersebut, terlihat adanya perbedaan orientasi dalam melihaat masalah pendidikan, namun satu hal yang cukup menonjol adalah berkaitan dengan pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia yang berimplikasi pada perlunya upaya pemerataan pendidikan baik itu sebagai modal/investasi manusia, sebagai pemeliharaan terhadap sumber daya manusia, maupun sebagai aktivitas yang dialami sehari-hari yang terus menerus beninteraksi dengan lingkungan baik sosiologis, ekonomis, maupun lingkungan teknologis. Semua implikasi ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari pembuat kebijakan guna menciptakan situasi yang kondusif bagi warga masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan bertanggungjawab dalam dimensi pendidikan yang lebih luas.

Masalah pemerataan pendidikan merupakan masalah di bidang pendidikan pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dari periode 2001/02 sampai 2005/06, angka partisipasi murni SD cukup bagus sebesar 94,20%. Untuk level pendidikan SMP, SMU dan Perguruan Tinggi terjadi ketidakmerataan pendidikan dengan angka partisipasi bersekolah yang kecil.

Jika melihat angka partisipasi murni untuk usia SMP tahun 2005/06 (data dari Depdiknas) maka menunjukkan angka 62,06% yang berarti 37,94% yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan SMP. Itupun belum memperhitungkan jumlah anak yang putus sekolah, maka jumlah tersebut akan berkurang. APM sebesar 42,64% pada level SMU, menunjukkan lebih besarnya jumlah anak usia SMU yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke level SMU. Hal ini juga belum memperhitungkan anak putus sekolah di level pendidikan SMU. 

Pemerataan Pendidikan

Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.

Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu Equality dan Equity. Equality atau persamaan mengandungn arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan , sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.

 Coleman dalam bukunya Equality of educational opportunity mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan yakni : pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya (Ace Suryadi , 1993 : 31). Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.

Dengan demikian dimensi pemeratan pendidikan mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Equality of access

b. Equality of survival

c. Equality of output

d. Equality of outcome

Apabila dimensi-dimensi tersebut menjadi landasan dalam mendekati masalah pemerataan pendidikan, nampak betapa rumit dan sulitnya menilai pemerataan pendidikan yang dicapai oleh suatu daerah, apalagi bagi negara yang sedang membangun dimana kendala pendanaan nampak masih cukup dominan baik dilihat dari sudut kuantitas maupun efektivitas.

Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah mengupayakan pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan sembilan tahun milai tahun 1994. upaya-upaya ini nampaknya lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan (dimensi equality of access). Di samping itu pada tahapan selanjutnya pemberian program beasiswa (dimensi equality of survival) menjadi upaya yang cukup mendapat perhatian dengan mendorong keterlibatan masyarakat melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh. Program beasiswa ini semakin intensif ketika terjadi krisis ekonomi, dan dewasa ini dengan Program BOS untuk pendidikan dasar, hal ini menunjukan bahwa pemerataan pendidikan menuntut pendanaan yang cukup besar tidak hanya berkaitan dengan penyediaan fasilitas tapi juga pemeliharaan siswa agar tetap bertahan mengikuti pendidikan di sekolah.

 Orang-orang di pedalaman di Indonesia bagian timur Irian dan Kalimantan tidak memperoleh kesempatan pendidikan yang sama dengan kita (di pulau Jawa). Pemerintah menghindar dari kewajibannya membuka daerah-daerah terpencil, namun juga menutup upaya organisasi lain. Pemerintah seharusnya membuka dan tidak menghalang-halangi pekerjaan LSM-LSM untuk membuka daerah-daerah terpencil di Irian dan Kalimantan, sekalipun LSM tersebut adalah Misi Penginjilan dari luar negeri. Selama ini birokrasi pemerintah secara efektif menghalangi upaya pembukaan daerah-daerah terpencil tersebut yang berasal dari misi LSM Kristen. Kampus-kampus di Indonesia Timur tidak memperoleh alokasi yang sama dengan kampus-kampus di bagian barat. Bantuan yang besar lebih banyak dihabiskan untuk pengembangan kampus di Jawa. 

Selain itu ada faktor lain seperti kesadaran akan arti pentingnya pendidikan, bagi masyarakat pedesaan dan marginal cenderung kurang menganggap penting artinya pendidikan.. hal ini karena faktor internal lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah faktor kelemahan. Masih relatif rendahnya tingkat pendidikan penduduk merupakan permasalahan mendasar dalam pembanguan SDM di daerah terpencil terutama di Indonesia bagian timur.

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu alasan anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, baik karena tidak memiliki biaya sekolah maupun karena harus bekerja. Hal tersebut berdampak pada tingginya kesenjangan partisipasi pendidikan penduduk miskin dengan penduduk kaya. Pada saat yang sama partisipasi pendidikan penduduk pedesaan lebih rendah dibanding penduduk perkotaan.

Pola pikir masyarakat miskin menilai bahwa pendidikan masih terlalu mahal dan belum memberikan manfaat yang signifikan dengan sumberdaya yang dikeluarkan. Karena itu, pendidikan belum menjadi pilihan investasi.

Selain faktor ekonomi, penyebab banyaknya anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi juga berkaitan dengan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendidikan, serta letak geografis dan faktor sosial budaya lainnya.

 Di sisi lain faktor kelemahannya adalah berkaitan dengan fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan SLTP dan SLTA yang belum tersedia secara merata atau terbatas, khususnya dalam pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan pedalaman, yang menyebabkan sulitnya anak-anak usia sekolah khususnya anak perempuan untuk mengakses layanan pendidikan. Selain itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga belum tersedia secara memadai bahkan hampir belum terperhatikan.

Kondisi wilayah geografis di daerah Indonesia bagian timur masih cenderung kurang mendukung, menyebabkan distribusi penduduk tidak merata dan juga berpengaruh terhadap pembangunan infrastruktur yang memadai. Belum semua kecamatan memiliki akses jalan, jembatan dan sarana transportasi, serta fasilitas listrik, pos dan telekomunikasi yang memadai

Selain itu, secara sosiologis penduduk di wilayah Indonesia bagian timur masih memiliki pola pikir yang menganggap pendidikan kurang memberikan kontribusi yang pasti terhadap masa depan mereka. Dan faktor lain yang mempengaruhi adalah faktor budaya.

Masalah pemerataan pendidikan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara diantarnya :

Ekspansi (perluasan), bagaimana pendidikan itu diperbesar semakin jauh terutama dalam pusat-pusat belajar. Selama ini cenderung hanya ditempat tertentu saja dimana pusat-pusat belajar itu ada, sedangkan di daerah-daerah terpencil seperti di irian jaya dan daerah terpencil lainnya masih sangat jaran.

Access, mendekatkan tampat-tempat belajar kepada pemakai. Akan tetapi ada kendala yang cukup krusial, yaitu pola pikirdan budaya masyarakat dalam memandang ari pentingnya pendidikan. Access disini memungkinkan untuk peluang keterjangkauan yang lebih dalam mengenyam pendidikan. Misalnya saja di salah satu desa di irian ada 3 SD, jadi yang harus dlakukan adalah didasarkan pada jumlah penduduknya. Jika kedekatan fisik itu tidak dapat mengatasi masalah, maka yag harus dilakukan adalah menciptakan system pendidikan yang fleksibel. Dimana proses pendidikan dilaksanakan saat anak-anak memiliki waktu luang.

Masalah-masalah pendidikan di Indonesia

Pendidikan di Indonesia berada dalam lingkaran keterpurukan yang cukup parah, 
seperti halnya bidang-bidang lain. Hal tersebut berdasarkan fenomena-fenomena dari permasalahan pendidikan yang ada. Tetapi ternyata permasalahannya terlalu banyak. Sehingga secara singkat ada beberapa masalah pendidikan di Indonesia secara umum, diantaranya :
1. Orientasi ijazah dan gelar
2. Kurangnya budaya penelitian
3. Kurikulum nasional dan metode pengajaran yang masih kacau
4. Buruknya standarisasi lembaga pendidikan
5. Diskriminasi, KKN, dan kronisme
6. Perusakan mental (pencurian hak cipta, plagiat, pemalsuan tanda tangan, korupsi dana, dan berbagai praktek rusak dipelajari dalam dunia pendidikan)
7. Kesejahteraan pendidik
8. Birokrasi departemen pendidikan
9. Faktor ketidak berdayaan hukum
10. Faktor pemerataan pendidikan
11. Faktor sosial budaya
12. Faktor industri
13. Mahalnya biaya pendidikan
14. Rendahnya kualitas sarana fisik
15. Kurang relevansinya antara pendidikan dengan kebutuhan
16. Kurikulum yang kurang efisien
17. Kepemimpinan kepala sekolah yang kurang professional


PENDIDIKAN BUDAYA DAN GLOBALISASI

Latar Belakang

Perkembangan dunia saat ini memang terus menerus berkembang pesat. Segala hal ikut berkembang dari hal yang paling kecil hingga hal yang paling besar bagi manusia. Mulai dari perubahan pembagian jam kerja hingga perubahan bidang kerja yang ditekuni. Sejalan dengan perkembangan ini, pendidikan ternya juga menjadi titik yang sangat strategis. Sebuah kondisi yang bisa menguntungkan namun jika salah dalam mengambil keputusan akan menjadi sebuah kerugian besar.

Dalam lingkup persaingan bebas ini pendidikan berperan penting dalam mencetak manusia-manusia yang handal dan siap berkompetisi dalam persaingan global.

Namun yang perlu kita ketahui bahwa pendidikan merupakan salah satu system yang sangat berkaitan dengan budaya. Dalam hal ini bisa budaya yang berarti sebagai tradisi masayarakat dan juga bisa diartikan sebagai gaya hidup. Ketika kita melihat sudut pandang budaya sebagai tradisi maka jelas kita akan memahami pendidikan sebagai wahana pelestarian budaya. Namun ketika kita melihat sisi budaya sebagai gaya hidup maka pendidikan berperan dalam pembentukan gaya hidup ini. Sejalan dengan perkembangan itu kita pahami bahwa manusia di zaman global seperti ini akan cenderung memajukan dirinya dalam segala hal. Hingga sampai akhirnya mereka akan dengan mudah meninggalkan asset budaya atau tradisi asli daerah mereka. Padahal justru budaya inilah yang menjadi ciri khas bangsa kita. Salah satu bukti dari hal ini adalah ketika saat ini banyak anak-anak muda yang cenderung mengikuti trend masa kini yang uumnya merupakan tren yang berasal atau diadopsi dari luar negeri.

Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kondisi budaya kita di tengah arus persaingan ini?
2. Bagaimanakah peran pendidikan kita di tengah arus globalisasi yang berdampak pada budaya kita?

PEMBAHASAN

Dalam rangka globalisasi maka akhirnya produk suatu industry, apalah itu produksi barang (manufaktur), ataukah itu industry jasa pendidikan, kesemuanya sama-sama dituntut harus kompetitif. Sebagai suatu contoh dapat kami kemukakan produk industry barang yang tidak kompetitif, misalnya produk industry dari Jerman Timur, ternyata dalam situasi pasar bebas sekarang ini tidak mampu bersaing dengan produk industry Jepang. Akhirnya industrinya jatuh. Bahwa dulu dia dapat bertahan, oleh klarena pada waktu itu dia menjadi pemasok barang untuk Negara-negara komunis. Jadi bukan karena menang bersaing di pasar bebas. Kemudian setelah runtuhnya Uni Soviet dan beberapa neara komunis di kawasan Eropa Timur, dan dianutnya mekanisme pasar bebas, dan karena kualitas produknya rlatif rendah;, maka dia tidak mampu bersaing dengan barang-barang produk Jepang dan industrinya hancur.
Seperti uraian pada contoh di atas, memang benar dalam pesaingan global sekarang ini semua produkl barang dituntut kualitas yang sama, kualitas yang bersifat global, dan harus kompetitif di bidang harga. Demikian jgua produk dari “industry jasa” pendidikan, suatu ketika akan dituntut kualitas sama secara global.

Menghadapi kondisi yang demikian ktia harus tanggap waktu kita sangat pendek. Sebagaimana kita ketahui, Negara kita ini terletak di cekungan pasifik; dan menurut para futurology dalam waktu dekat, yaitu di awal abad XXI pusat perekonomian dunia akan ebralih ke kawasan pasifik. Kita harus menyiapkan manusai Indonesia yang berkualitas, yang berkompetitif dengan orang Jepang, Korea, Hongkong, SIngapura, CIna, dan bangsa-bangsa lain di kawasan pasifik. Kalau kita tidak mampu menyiapkan manusia Indonesia yang demikian, maka bangsa Indonesia akan tertinggal lagi, dan hanya akan menjadi penonton. Kita tidak akan mampu memanfaatkan dampak positif, dan yang lebih mencemaskan lagi, ialah bahwa pada saat itu kita tidak akan dapat menghindari dampak negatifnya.

Untuk dapat menghasilkan manusia yang berkualitas masih banyak hal yang harus ditata. Suatu hal yang menonjol adalah masalah budaya, terutama tentang budaya IPTEK. Rupanya budaya kita belum kondusif untuk menjawab tantangan yang kita hadapi. Sebenarnya kami merasa sangat prihatin kalau melihat kondisi yang ada di masyarakat kita sekarang. Memang terkesan bahwa pad aumumnya sikap masyarakat masih kurang kondusif terhadap upaya pengemangan IPTEK. Kampus seabgai pusat intelektual dan cultural belum mantap.

Selanjutnya dapat diberikan gambaran sebagai berikut, sekarang ini media massa, baik itu surat kabar, TV ataupun radio masih belum menyajikan; berita yang memadai dalam hal pembudayaan IPTEK dalam acara berita di TV, selalu ada berita khusus tentang olah raga yang disiarkan secara tetap. Banyak bagian dari acara olah raga ini diisi dengan berita tentang lomba motor cross atau mobil rally, dan lain-lain yang kesannya lebih bersifat hura-hura. Disamping itu sebagian besar acara di TV adalah hiburan yang kadang-kadang juga terlalu banyak yang bersifat hura-hura, seperti music rock, dangdut dan sebagainya. Demikian juga halnya yang terjadi pada surat kabar. Artikel tntang olah raga jauh lebih menonjol dari pada IPTEK. Akhir-akhir ini terkesan banyak anak-anak muda lebih menghargai music rock dari pada ilmu pengetahuan. Di samping itu terkesan juga banyak diantara mereka lebih suka mengambil “jalan pintas” daripada bekerja keras.

Kami tidak anti terhadap olah raga, justru kai sangat menganjurkan orang untuk berolah raga karena hal itu sangat diperlukan bagi kesehatan manusia. Demikian juga terhadap seni. Asalkan selektif, dipilih yang tepat, maka seni akan dapat menghaluskan cita rasa manusia. Namun pilihannya jangan terlalu banyak yang bersifat hura-hura, karena hal itu justru akan menimbulkan dampak yang negative terhadap pendidikan generasi muda.

Peranan media massa pendidik untuk memasyarakatkan budaya IPTEK rupanya belum maksimal. Harapan kami media massa harus lebih tanggap terhadap masalah ini. Hal yang sangat penting, yaitu pembudayaan IPTEK jangan sampai dilupakan. Media massa minimal perlu menampilkan tiga berita tetap, yaitu berita social politik, beria IPTEK, dan berita olah ragaseni. Dengan demikian IPTEK akan membudaya di kalangan generai muda bangsa Indonesia, mereka akan tertarik kepada IPTEK, dan akhirnya mereka akan mampu bersaing degnan anak-anak Jepang, Korea, Singapura, dan lain-lain.

Sebagaimana kita ketahui, disamping sekolah dan keluarga, masyarakat merupakan salah satu komponen yang harus turut bertanggungjawab terhada pendidikan nasional. Media massa sebagai bagian dari pendidikan masyarakat dapat memainkan peran yang penting dalam mendidik masyarakat, agar menjadi masyarakat yang berbudaya IPTEK, antara lain: berdisiplin, mepunyai ethos kerja yang tinggi (kerja keras), efisien, produktif, inovatif, kreatif, dan lain-lain.

Apabila suasana budaya yang kondusif seperti yang uraikan di atas sudah diciptakan, maka maslaah-masalah kunci harus ditangani. Kalau kita ingin menguasai IPTEK maka ilmu-ilmu dasar, sepreti: matematika, fisika, kimia, dan biologi harus ditangani secara sungguh-sungguh sehingga menjadi menarik bagi anak-anak muda. Untuk itu, maka anak-anak muda harus diberi tahu bahwa kalau mereka mempelajari ilmu-ilmu dasar, dan kemudian mereka bekerja, maka pekerjaannya itu akan memberikan kehidupan yang layak. Kepada mereka perlu diberikan informasi tentang prospek masa depannya, antara lain yang menyangkut jenis-jenis lapagnan kerja yang bisa mereka masuki setelah mereka berhasil menguasai ilmu-ilmu dasar. ( Wahjoetomo.1993. Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pelaksanaan Pendidikan Sebagai Jawaban Atas Isu. PT Gramedia Widia Sarana. Jakarta. )

Ditengah maraknya pembahasan mengenai globalisasi diatas salah satu keprihatinan kita adalah mengenai keberadaan buda daerah kita. Dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah asset kultur hasil pemikiran manusia dalam suatu wilayah yang diyakini keberadaan dan kebenarannya. Kita tahu kita sebagai manusia di Indonesia, kita berada pada masyarakat yang majemuk. Mejemuk dalam hal sifat karakter, dan kebudayaan yang kita miliki. Ini merupakan sebuah asset tersendiri namun sering kita kesampingkan. Contohnya saja dalam dunia sekolah jam pelajaran bahasa inggris jauh lebih banyak dari pada jam pelajaran muatan local bahasa jawa.. seolah-olah kita sengaja diarahkan memang untuk melayani kemajuan teknologi. Padahal teknologi adalah hasil ciptaan manusia. Idealnya manusialah yang merajai teknologi.

selain itu kita juga harus memahami bahwa keberadaan sekolah saat ini semua cenderung diarahkan pada perkembangan IT information Technologisehingga selalu yang menjadi orientasi adalah teknologi dan terutama alasan globalisasi, padahal kita tahu bahwa dengan maraknya globalisasi ini ada kecenderungan untuk bersifat kompetisi. Kompetisi dalam era seperti ini adalah siapa yang kuat dialah yang menang. Hamper tidak ada istilah gotong royong. Padah kita tahu bahwa salah satu cirri bangsa Indonesia adalah gotong royong.
Saat ini mungkin dampak cultural akibat dari globalisasi belum begitu kita rasakan, namun ketika pendidikan kita terlena dengan kemewahan globalisasi bukan tidak mungkin akhirnya pendidikan kita hanya akan mencetak buruh-buruh murah bagi perusahaan-perusahaan asing yang kelak juga akan masuk di Indonesia.


PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA


LATAR BELAKANG

Wacana mengenai pemerataan pendidikan di Indonesia sudah sejak lama dicanangkan. Pencanangan ini menilik dari kurang meratanya pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan hanya terpusat di daerah perkotaan. Artinya, bahw kemajuan pendidikan di daerah-daerah pedesaan masih jauh dari seperti yang diharapkan, terutama daerah yang kawasannya sangat jauh dari kota. Hal ini secara fisik juga dapat kita amati, dimana jumlah sekolah yang ada di daerah kota dan desa sangat jauh berbeda.

Berdasarkan penjabaran diatas, kita dapat melihat bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan dan sangat kompleks, dimana satu dengan yang lain saling berhubungan.

PEMBAHASAN

Pemerataan pendidikan merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk mengadakan persamaan pendidikan di tiap daerah sehingga tidak ada yang tertinggal dari yang lain. Pemerataan pendidikan ini mencakup dalam pemerataan mutu pendidikan maupun fasilitas pendidikan itu sendiri. Dimana pemerataan mutu dan fasilitas merupakan ujung tombak untuk menciptakan pemerataan pendidikan itu sendiri.
Pemerataan mutu pendidikan disini maksudnya yaitu : tenaga pendidik. Dengan penyebaran tenaga pendidikan yang handal, maka secara bertahap akan tercipta suatu hubungan yang berkesinambungan antara tiap daerah. Artinya bila tenaga pendidiknya memiliki mutu yang baik, secara tidak langsung akan menciptakan pendidikan yang baik juga. Hal ini bisa di contohkan, misalnya : mengadakan diklat tenaga pendidik yang kemudian disebar ke setiap daerah-daerah, penyebaran tenaga pendidik ini membawa misi untuk menciptakan pendidikan yang merata. Dengan tenaga pendidik yang kesemuanya telah dibekali pendidikan yang tepat, maka diharapkan para pendidik tersebut akan mengaplikasikannya pada daerah yang ditujunya.
Untuk memaksimalkan peran tenaga pendidik, maka tidak bisa lepas dari ketersediaan fasilitas yang mendukung terlaksananya proses belajar mengajar. Dalam hal ini, secara fisik yakni gedung sekolah dan perlengkapan yang dapat memperlancar proses transper ilmu. Jika ke dua hal ini telah dapat dipenuhi, maka pemerataan pendidikan dapat dilaksanakan. Karena dengan dukungan fasilitas yang memadai, maka tenaga pendidik mampu mengaplikasikan ilmunya dalam proses belajar mengajar secara maksimal. Dalam hal ini pemerintah telah mengupayakan pengadaan dana BOS (bantuan oprasional sekolah), yang ditujukan untuk menunjang proses belajar mengajar. Serta pengadaan sertifikasi guru yang ditujukan untuk menghasilkan seorang tenaga pendidik yang benar-benar profesional dan memiliki pengetahuan.

Kesimpulan

Berdasarkan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah, mampu kita nilai bahwa pemerintah sangat serius dalam menyingkapi masalah ini. Menilik dari adanya BOS dan sertifikasi. Namun di samping hal ini, pemerintah pusat juga hendaknya tidak mengesampingkan peran fungsi pemerintah daerah (PEMDA). Dimana pemerintah pusat diharapkan memberikan tugas pengawasan yang lebih ketat diserahkan kepada pemda. Disebabkan pengawasan yang dilakukan oleh Pemda lebih dekat dan langsung, tidak hanya berupa laporan laporan saja.



william james (pragmatisma)


Di Amerika Serikat terdapat bentuk dari filsafat empiris dan ekperimen yang paling tepat disebut sebagai Pramatisma. Kita akan membahas pandangan mengenai hal itu.Untuk tujuan itukita akan merujuk kepada bahan pembelajaran Lowell,karya William James yangterkenal, yang diterbitkan dengan judul Lectures on Pragmatism(Mempelajari Pramatisma).Tetapi sebelum itu, kita akan menandai satu poin penting, yaitu kita tidak membahas keseluruhan pemikirannya.Sebaliknya, kita akan melihat bagaimana ketidak adilan yang didapatkan pemikir besar Amerika ini yang bukunya kita jadikan sumber ide yang berharga.

Menurut James, pragmatisma adalah teori yang sesuai dengan keinginannya, atau lebih tepatnya, sebua “metode”. Yang tidak untukdibandingkan dengan pemahaman religius ataupun filsafat yang mencoba memberikan penjelasan dan pengarahan didalam hidup. Pragmatisma, berdasarkan pendapat James, adalah bersifat radikal empiris, bukan kealamian. Didalam bukunya dia mengatakan: “ Tidak ada yang baru dari metode pragmatisma”. Pramatisma mewakili “ sifat-sifat empiris”. “dan diwaktu yang sama pragmatisma ada bukan untuk memberikan hasil yang istimewa, melainkan hanyalah sebuah metode”. “Pragmatisma tidak memiliki doma, dan doktrin didalam metodenya”. “Tidak ada hasil yang berbeda, lebih lanjut lagi, tetapi hanyalah sifat-sifat pemahamanlah yang dimaksudkan dari metode pragmatisma”. Sifat-sifat seperti melihat sesuatu sebagaimana adanya, dasar-dasar, “kategori”, pengenalan keinginan; dan melihat jauhke belakang, sebab-akibat dan fakta.”

Pragmatisma merupakan anthropocentis murni, dengan alas an itu pulahla dipakai kata humanisme untuk menggambarkan pramatisma. Menurut Kantian, pragmatisma adalah humanisme selama tidak mewakili kemampuan berpikir didalam dunia nyata. Sedangkan, menurut Kant, dengan pemahaman dan pemikiran yang lebih jernih, mempercayai kemampuan pemikirian dalam menciptakan gambaran tetap dari bumi (apapun yang menjadi dasarnya),pragmatisma menolak pandangan itu. “Adalah Schilcore (pelopor filsafat pragmatisma) yang menyadari adanya inti dari kenyataan yang dapat dirasakan. Keliatannya sama dengan pandangan Kant, tetapi diantara keduanya ada pemisah yaitu perbedaan mendalam antara rasioanlisme dan empirisme.

BErdasarkan hal itulah, semua ketertarikan dan alasan pribadi, dan pemikiran murni dari idealisme Hegel dapat kita katakan tidaklah ada. Alasan tidak menciptakan fakta; hanyalah memberi perintah dan mengelompokkan fakta. Seperti halnya saya menyatakan sesuatu itu benar, dan saya terus menyatakannya sampai sesuatu itu menjadi lebih dari sekedar alasan; Saya menyatakannya dengan pemikiran yang mengingatkan saya akan hubungannya dengan apa yang saya lakukan dan pikirkan.

Jalan pemikiran seperti ini, tentu saja, memerikan perhatian khusus teradap masalah yang terdapat pada teori pengetahuan, dan pemikiran lain seperti kebenaran dan kegagalan mendapatkan makna yang berbeda dari paham idealis maupun popular. Perbedaan mendasar antara benar dan salah terdapat pada pelaksanaannya. Suatu pemikiran itu benar jika pemikiran itu berguna, dan salah bila tidak dapat digunakan.

Menurut James, penilaian dan hukuman adalah penuntun sedehana dari tingkah laku, sehingga pemikiran akan norma kita tidak bersifat selamanya; lebih kepada menyesuaikan teradap situasi. Dampaknya, perbedaan antara penilaian fakta dan penilaian harga serta perbedaan antara alasan teoris dan alasan praktikal menghilang. Kata-kata “benar”dan “nyata” menyatakan bentuk dari nilai perasaan ketidakbergunaan; dan kata “baik” adalah sebuah penyamaran. Ini adalah bukti dimana James secara tidak sadar membenarkan pendapat Nietzche mengenai kekacauan pemakaian teori norma primordial.

Dampak lainnya adalah, nilai iman kita tidak memerikan bukti mengenai dunia secara keseluruhan; sesuatu benar menurutku jika itu berguna, seperti halnya kebebasan lebih beruna dari pada determinasi. Yang terakhir menghalangi kegiatanku, yang pertama memberi sayap kepadanya. Itulah sebabnya, sifat-sifat iman, atau “keinginan untuk percaya”, yang nantinya diubah oleh James menjadi “Hak untuk percaya”, adalah sebuah mesin kemajuan. Para materialitis harus disalahkan, bukan karena mereka salah, tetapi karena mereka tidak mengasilkan, atau dengan kata lain tidak memberikan hasil yang berguna seperti halnya para idealis, yang mungkin saja salah, tetapi dapat memberikan bukti mengenai kemampuannya memberikan bahan baker yang dibutuhkan oleh sebuah mesin kemajuan.

William James (1842-1910)


William James, mungkin adalah filsuf dan psikolog Amerika yang paling berpengaruh, dilahirkan di kota New York , tetapi menghabiskan masa kecilnya di Eropa.

Pendidikan dasarnya tidaklah biasa dan berganti-ganti, dikarenakan seringnya berpindah dari satu kota ke yang lain dan juga keinginan ayahnya agar dia lebih berkembang. Dia melewatkan masa pendidikannya disekolah umum dan dari guru bimbingan pribadinya di Swiss, Prancis, Inggris dan Amerika. Selama thun-tahun itu, dia hanya bisa membayangkan bagaimana kehidupan di sekolah sebenarnya. Setelah mendalami seni selama beberapa tahun, dia menyadari bahwa seni bukanlah bidangnya dan pada tahun 1861 dia masuk ke Lawrence Scientific School di Cambridge, yang memberikan karir di bidang sains dan koneksi dengan Universitas Harvard yang terus berlangsung seumur hidupnya.

Saat berusia 35 tahun, dia telah menjadi dosen di universitas ini. Dia menjadi instruktur fisiologi dan anatomi selama 7 tahun, guru besar filsafat selama 9 tahun, dan menjadi guru besar psikologi sampai 10 tahun terakhir dia mengajar, saat dia kembali lagi mengajar filsafat. Dia adalah penulis yang produktif dan berbakat dibidang filsafat, psikologi dan pendidikan, dan pengarunya pada kehidupan pendidikan di Amerika sangatlah mengesankan. Karya terbesar dan paling berpengaruhnmya, The Principles Of Pshychology (Dasar-dasar Psikologi), yang diterbitkan tahun 1980, nantinya akan menjadi materi pendidikan modern yang sangat berpengaruh. Pemikirannya terhadap pendidikan dan pandangannya terhadap cara kerja pengajar dapat dilihat di karyanya yang terkenal Talks to Teacher. Selain sangat terkenal, buku-buku ini memberikan pengaruh yang besar terhadap pendidikan dan pengajarnya. Teori dan praktek pendidikan, adalah hutang terbesar Amerika kepada “ Bapak Pendidikan Psikologi Modern” ini.

William James adalah seorang yang individualis. Didalam bukunya Talks to Teacher tidak terdapat pernyataan mengenai pendidikan sebagai fungsi sosial. Baginya pendidikan lebih cenderung kepada “ organisasi yang ketertarikan mendalam terhadap tingkah laku dan ketertarikan akan kebiasaan dalam tingkah laku dan aksi yang menempatkan individual pada linkungannya”. Teori perkembangan diartikannya sebagai susunan dasar dari pengalaman mental untuk bertahan hidup. Pemikirannya ini dipengaruhi oleh insting dan pengalamannya mempelajari psikologi hewan dan doktrin teori evolusi biologi.

Ketertarikan James akan insting dan pemberian tempat untuk itu dalam pendidikan, menjadikan para pembaca bukunya percaya akan salah satu tujuan terpenting didalam pendidkan adalah memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk mengikuti instingnya. Yang nantinya akan menjadi peribahasa teori pendidikan. “ Bekerjasamalah dengan insting, jangan melawannya”. Pembaca yang lebih teliti dapat menemukan tulisan yang lebih menguatkan akan hal ini, tapi ketidak raguannya ditunjukkannya melalui pernyataan-pernyataannya bahwa persatuan para psikolog telah salah mengenali kekuatan insting didalam kehidupan manusia.

Teori James akan insting sangatlah bersifat individualis dan sangatlah kolot pada pelaksanaannya. Mengesampingkan pernyataannya mengenai perubahan insting, yang berlawanan dengan diskusinya pada “Iron Law of Habit/Hukum Utama Kebiasaan” dan keprcayaannya akan tujuan dasar pendidikan sebagai pengembangan awal kebiasaan individual dan kelompok, dalam pembentukan masyarakat yang lebih sempurna.
Singkatnya, James menegaskan, dasar dari semua pendidikan adalah mengumpulkan semua insting asli yang dikenal oleh anak-anak, dan tujuan pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan seagai bagian dari diri untuk menjadikan pribadi yang lebih baik.
Sumbangan James yan paling berpenaruh terhadap metode pendidikan adalah hubungannya dengan susunan kebiasaan. James mengtakan:

“Hal yang paling utama, disemua tingkat pendidikan, adalah untuk membuat ketakutan kita menjadi sekutu bukan menjadi lawan. Untuk menemukan dan mengenali kebutuhan kita dan memenuhi kebutuhan dalam hidup. Untuk itu kita harus terbiasa, secepat mungkin, semampu kita, dan menjaga diri dari jalan yang memberi kerugian kepada kita, seperti kita menjaga diri dari penyakit. Semakin banyak dari hal itu didalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita lakukan dengan terbiasa, semakin banyak kemampuan pemikiran kita yang dapat digunakan untuk hal yang penting lainnya.”

Dalam pembahasan mengenai metode susunan kebiasaan, James memberikan 4 atauran dasar:

  1. Lengkapi dirimu dengan kekuatan dan ambillah keputusan seepat mungkin.
  2. Tidakada pengecualian dalam kesempatan sampai kebiasaan baru telah tertanam dihidupmu.
  3. Ambilah kesempatan yang paling pertama saat menambil tindakan.
  4. Jagalah kebiasaan itu agar tetap ada dengan memberikan dorongan kecil setiap hari.